Cerita Vaksin di Jepang Bag. 3

Vaksin MR, kado spesial untuk bayi berusia satu tahun di Jepang

Akhirnya kita sampai di bagian 3 ini yess.. pada bagian ini saya akan fokus pada vaksin Measles (Campak) dan Rubella (Campak Jerman) sebagai bagian inti. Sebelumnya, saya sempat mendapati komentar keliru seperti; “Di Jepang kan udah gak ada vaksin MR lagi karena bahaya bisa bikin autis”, “Kenapa gak ibu-ibu yang berencana hamil atau remaja perempuan aja yang divaksin MR? Kan yang beresiko terkena bahaya rubella itu ibu-ibu hamil!”, “Kenapa harus semua anak-anak yang harus divaksin?”

Nah, mari kita telaah satu-satu yaaa. Dalam sejarah vaksin MR di Jepang, vaksin yang mula-mula dipakai pada tahun 1989 adalah MMR atau Measles, Mumps, dan Rubella. Namun, sempat ada kehebohan terjadi ketika vaksin MMR dikaitkan dengan timbulnya penyakit meningitis pada beberapa orang [1]. Setelah ditelisik, sebenernya hubungannya belum jelas antara vaksin MMR dan meningitis, gosipnya lagi meningitis terjadi karena terkandung vaksin mumps, padahal secara alamiah meningitis memang bisa terjadi pada penderita mumps/gondong [2]. Walau belum pasti hubungannya, kehebohan terlanjur terjadi sehingga masyarakat enggan vaksin. Akhirnya, mulai tahun 1994 pemerintah membuat MMR menjadi MR. MR tetap wajib sampai sekarang dan sukses menurunkan kasus campak dan rubella [Fig.1] sedangkan vaksin mumps menjadi voluntary.

40072671_10217498146912530_904304397805158400_n

Kemudian, “Kenapa bukan remaja perempuan yg divaksin saja? Kenapa semua anak?” Jawabanya, program untuk anak perempuan sudah dijalankan oleh pemerintah jepang, tetapi penurunan penyakit rubella TIDAK SIGNIFIKAN. Sehingga kebijakan berubah, vaksin diberikan dua kali saat anak berusia satu tahun dan saat anak berusia SD [1, Fig.1]. Jadi plis jangan bilang, yaudah kalau lagi hamil ya jangan deket-deket sama anak kecil, di rumah aja jangan kemana mana, yawes nanti Paud-paud dan TK-TK tutup aja ya klo ibu gurunya lagi hamiiil 🙊 atau bilang, yaudah nti anak saya kalau kena rubela ta dekem dirumah aja, padahal gejala rubela itu ringan, mungkin nanti bu ibu mengira itu bintik merah biasa 😥. Jadi, clear ya kalau bayi dan anak2 wajib vaksin rubella.

So sweetnya, beberapa minggu sebelum anak berusia setahun, mamak sudah dapet surat cinta dari city hall berisikan jadwal vaksin untuk MR ini. Demi menjaga nama baik sebagai seorang muslim dan seorang Indonesia, serta mematahkan paradigma bahwa kebayakan virus campak dan rubella itu diimpor dari negara-negara asia tenggara termasuk Indonesia [1, 3], dengan mengucap Bismillah akhirnya kami penuhi panggilan itu 🙈😅

“Wah, jadi pengen pindah ke Jepaang, yang dari Jepang pasti semuanya bagusss”. “Trus kenapa kita gak impor vaksin MR dari Jepang aja sih?”

Alhamdulillah tentang program vaksin Jepang ini memang patut untuk dicontoh, tapi gak semua yg dari Jepang itu bagus ya.. nanti lah cerita lagi kapan-kapan ttg ini😂. Sebagai warga Indonesia, kita gak boleh patah semangat untuk terus mendukung program vaksin di Indonesia agar mampu menjaga kualitas dan mencakup semua lapisan masyarakat sehingga mampu mewujidkan herd immunity (kekebalan komunitas), insyaAllah kita dukung Indonesia untuk berproses kesana.

Lalu kenapa gak impor vaksin MR dari Jepang. Mayoritas vaksin wajib di Jepang memang produksi dalam negeri, seperti dari Takeda, Kitasato, dan Biken [Fig.2]. Tapi vaksin dari Jepang tidak bisa memenuhi kebutuhan vaksin nasional di Indonesia. Sehingga kita harus impor dari SII India. Sama halnya kita ga bisa pakai Priorix (yg katanya ga mengandung gelatin babi, tpi mungkin masih pakai katalis yang bersinggungan dengan babi) seperti di Saudi karena memang populasi kita ituu lebih banyakk.

40099479_10217498153872704_3356580168037564416_n

Baiqlah.. bu ibu, pak bapak juga, jangan lelah untuk terus mengkampanyekan pentingnya vaksin yaa.. juga dengan berupaya mengedukasi diri sendiri, serta mempersiapkan anak sebelum vaksin agar bisa vaksin dalam kondisi prima untuk mencegah terjadinya KIPI.

Adapun vaksin adalah bentuk ikhtiar kita melawan penyakit menular yang berbahaya, selanjutnya kita terus bertawakkal pada Allah. Mungkin ada yang setelah vaksin masih terjangkit penyakit, tetapi percayalah, beberapa virus dan bakteri adalah makhluk yg diciptakan untuk menjadi ujian bagi manusia, mereka teurs berupaya untuk bermutasi, dan kita pun berupaya untuk melawan dengan pengembangan-pengembangan vaksin yang lebih baik lagi di masa mendatang.

Referensi:

1. Nakayama, Tetsuo. “Vaccine chronicle in Japan.” Journal of Infection and Chemotherapy 19.5 (2013): 787-798.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3824286/
2. Bonnet, Marie-Claude, et al. “Mumps vaccine virus strains and aseptic meningitis.” Vaccine 24.49-50 (2006): 7037-7045.https://www.sciencedirect.com/…/artic…/pii/S0264410X06007778.
3. Kanbayashi, Daiki, et al. “Rubella Virus Genotype 1E in Travelers Returning to Japan from Indonesia, 2017.” Emerging infectious diseases 24.9 (2018): 1763-1765. https://wwwnc.cdc.gov/eid/article/24/9/pdfs/18-0621.pdf

Cerita Vaksin di Jepang Bag.2

Vaksin dan Imunisasi di Jepang merupakan program yang wajib diikuti oleh semua lapisan masyarakat di Jepang, baik warga negara Jepang atau warga negara asing yang tinggal di Jepang. Jadi, pernyataan vaksin hanya untuk negara-negara muslim sebagai program depopulasi di negara tersebut tidak benar yaa☺️. Karena di negara maju termasuk Jepang, vaksin hukumnya wajib.

Karena wajib, maka pemerintah mengusahakan akses vaksin gratis untuk vaksin-vaksin yang wajib seperti Haemophilus influenzae type B, Streptococcus pneumoniae, Hepatitis B, DPT-IPV (diphtheria. tetanus. pertussis, polio), BCG (TBC), Varicella (Cacar air), Measles Rubella (Campak, campak jerman), Japanese Encephalitis, dan HPV (Human papilloma virus). Selain dari itu, untuk gondong (mumps), tetanus, rabies, yellow fever, Hepatitis A, dan rotavirus bisa dilakukan jika perlu [Ref. 1].

Setelah melahirkan biasanya ibu-ibu di Jepang diberi sejumlah dokumen untuk dipelajari mengenai vaksin, jadwal vaksin, dan form isian vaksin yang harus dibawa sebelum melakukan vaksin [Fig. 1]. Plus, biasanya ada staff kesehatan yang akan berkunjung ke rumah (home visit) untuk melakukan check up bayi setelah lahiran pada usia sekitar 2 bulan. Hal ini dilakukan untuk mengedukasi orang tua untuk mempersiapkan anak untuk menerima vaksin. Dalam praktiknya, vaksin diberikan saat anak sehat, dan akan ditunda jika anak mengalami demam, batuk pilek, otitis media atau kondisi tidak sehat lainnya. Hal ini juga berlaku saat kita datang ke Jepang saat sudah memiliki bayi atau balita. Dari city hall akan diberikan berkas yang sama untuk melengkapi imunisasi dan vaksin di Jepang.

39989115_10217484037599806_5090956290797076480_n

“Kalau kita memutuskan gak vaksin di Jepang boleh gaa?” Untuk hal ini konsekuensinya adalah anak-anak kita jadi terbatas untuk hidup bermasyarakat karena untuk masuk daycare, TK, atau SD syarat vaksin adalah syarat mutlak. Untuk hal ini, kelengkapan dan rekam jejak vaksin juga sangat penting. Tak hanya sekali, namun beberapa suntikan kali vaksin yang dilengkapi dengan booster [Fig. 2].

40044412_10217484038919839_3676298225041539072_n

Jepang memiliki sejarah vaksinasi yang panjang di mulai dari tahun 1849. Secara resmi imunsasi digalakan oleh pemerintah Jepang dari tahun 1948 sampai sekarang. Dari program vaksin tersebut, Jepang mampu mengurangi penyebaran penyakit menular [Ref. 2]. Lalu, sedarurat apakah vaksin di Jepang? Sama halnya dengan kondisi-kondisi di negara lainnya termasuk Indonesia, vaksin dibutuhkan untuk mencegah munculnya kembali penyakit-penyakit menular yang bisa mendatangkan wabah bagi masyarakat. Tentu saja dengan sedikitnya populasi di Jepang, pemerintah sangat peduli dengan kesehatan setiap warga negaranya.

Mengenai, keputusan vaksin yang kami ambil adalah berdasarkan kondisi darurat dan kewajiban mengambil vaksin sebagai warga negara asing yang tinggal di Jepang. Kami mengikuti fatwa universial dimana hukum vaksin adalah mubah, sambil terus mengharap perlindungan dari Allah dari segala macam penyakit. Seperti halnya di Indonesia (sebelumnya adalah fatwa MUI no 4 Tahun 2016) [Ref. 3] dan fatwa terbaru dalam fatwa MUI Bo 33 Tahun 2018 [Ref. 4]. Selain itu, beberapa penjelasan mengenai kebolehan vaksin dalam Islam telah banyak dijelaskan oleh para pakar fiqh dan ulama [Ref. 5]. Sehingga, kalau ada ulama yang tidak membolehkan vaksin, itu bukan salah ulamanya, bisa jadi informasi yang tidak lengkap sampai kepadanya hingga dia tidak memilih vaksin [Ref.6]

“Duh, sebenernya masih ragu dengan vaksin MR yang lagi dikampanyekan saat ini, anakku harus vaksin gak yaaa?!”, “Kalau di Jepang kampanye vaksin MR heboh banget gak sih kayak di Indonesia?”

Yup, tunggu jawabannya di bagian 3 mendatang yaa.. InsyaAllah.

Referensi:

[1] https://www.niid.go.jp/…/vacci…/schedule/2016/EN20161001.pdf

[2] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3824286/

[3] http://www.depkes.go.id/…/Fatwa%20No.%204%20Tahun%202016%20…

[4] https://www.facebook.com/muhammadsaifuddin.hakim/posts/1891723637561404?__tn__=K-R
https://www.facebook.com/muhammadsaifuddin.hakim/posts/1891800160887085?__tn__=K-R

[5]https://www.facebook.com/dokterPip…/posts/10217223903206117…

[6] https://www.youtube.com/watch?v=llT9sBLKnDk&app=desktoppenjelasan lengkapn dari ust. dr. Raehanul Bahraen, yang sedang menempuh studi patologi klinik https://www.facebook.com/raehanul.bahraen

Cerita Vaksin di Jepang Bag.1

Bismillahirrahmanirrahim.
Karena kemarin ikyu dikhawatirkan kena Campak padahal mah Alhmdulillah ternyata Tampak (Roseola) akhirnya saya jadi inget tulisan vaksin yang pernah dipublish di FB sebelumnya.

Saat tinggal di Jepang cukup banyak kiranya yang bertanya; apa anak kamu vaksin di jepang? wajib gak vaksin di jepang? Trus ke-halal-an nya gimana? Usia berapa dimulai vaksin? Sampe ada pertanyaan, di Jepang ada antivaks ga? Ehehe.

Sebelumnya, disclaimer dulu, bahwa saya bukanlah pakar, hanya ibu-ibu rempong yang rada gelisah mengenai problematika vaksin dan imuniasasi yang seringkali menambah topik perdebatan baru dikalangam ibu-ibu. Yak, moms warrr.

Hanya saja bedanya dengan mom’s war lainnya. Perkara vaksin ini ga bisa elu-elu gue-gue. Anakku ya urusan anakku, anakmu bukan anakku #tersinetron 😅.

Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya mencoba bercerita bagaimana kami akhirnya memutuskan untuk memberikan vaksin pada anak kami yang berkesempatan lahir di Jepang.

Perjalanan saya untuk mempelajari vaksin bermula dari program studi, jurusan dan perkuliahan imunokimia di Departemen Biokimia IPB tahun 2008. Dari situ saya meyakini bahwa imunisasi dan vaksinasi itu penting untuk kekebalan tubuh manusia.

Kemudian seiring berjalannya waktu, akhirnya saya pun harus memutuskan mau ikut vaksin atau engga? saat kami telah memiliki anak.

Sebelumnya, saya pun pernah galau dan merasakan perdebatan lahir batin dengan banyaknya isu dan berita negatif mengenai vaksin itu sendiri. Bahkan, saya hampir pernah antipati terhadap vaksin saat terkait dengan tema ke-halal-an, konspirasi, jangan mendahului takdir, kembalilah pada thibun nabawi saat saya ingin mencoba untuk memperlajari islam lebih dalam.

Ragu-ragu, ga percaya oranglain, hanya berbekal pengalaman mencari/gugling sendiri, menjadikan saya tidak menyadari bahwa saya sedang mengkonsumsi sumber yang salah saat itu. Akibatnya saya menjadi terlalu percaya dengan apa yang saya yakini walau ga sempat tertulis di laman media sosial juga sih, kan dulu bisanya cuma apdet status ga penting😂

Kemudian, sekitar tahun 2012, sempat marak perdebatan provaks dan antivaks yang keduanya saya sempat simak. Saya merasa gelisah namun juga tercerahkan dengan penjelasan mbak-mbak provak yg bisa menjawab secara mudah pertanyaan-pertanyaan terkait keraguan para antivaks. Akhirnya saya pun mulai tergerak untuk membaca-baca sumber yang beliau sertakan berserta data-data lengkapnya.

Sampai pada akhirnya, tahun 2013 saya bisa melanjutkan studi di Jepang. Dan bisa dikatakan saat itu adalah titik balik saya dan mungkin bagi banyak orang untuk memperbaiki pola pikir dan cara mengambil kesimpulan dengan cara yang benar.

Tinggal sebagai muslim minoritas membuat kami mempelajari ulang tentang bagaimana kami bisa mempraktekan ajaran islam di Jepang. Dari mulai hal memilih makanan halal tanpa label halal, menunaikan ibadah tanpa ada kumandang adzan, berpuasa ramadhan di musim panas yang luar biasa, sampai keputusan untuk vaksin atau tidak kami pertimbangkan matang-matang. Tidak jarang banyak yang mudah menerima hidayah saat mereka tinggal di Jepang, sehinggal lebih mendalam memperlajari islam.

Lalu bagaimana memutuskan untuk vaksin di Jepang, apakah vaksin di Jepang halal? InsyaAllah next ke bagian 2 yaa…

Berteman Dengan Demam

unnamed

Berhubung kemarin Ikyu demam agak tinggi di usia 31 bulan ini, akhirnya saya buka-buka buku ini lagi. Karena kalau lagi panik jadi suka lupa kan apa yang harus dilakukan hehehe.

Sebelumnya, waktu di Jepang, Ikyu juga sering demam. Kebanyakan demam sikit-sikit (> 37.5) karena ketularan teman daycare. Saat itu hanya butuh istirahat lalu segera ceria bermain kembali. Tapi ada juga dua kali kejadian demam parah karena infeksi saluran telinga pada usia 8 bulan dan influenza (berbeda dengan pilek/common cold) pada usia 16 bulan.

Alhmdulillah beberapa kali buku ini juga jadi panduan untuk mengambil langkah tepat, segera ke dokter atau cukup istirahat di rumah.

Demam yang sekarang ini diawali dari muntah-muntah yang langsung diikuti demam tinggi sekitar 38.5 derajat Celcius. Karena kejadiannya sebelum tidur, saya coba istirahatkan Ikyu sambil dikompres dahinya.

Pagi hari ternyata keadaan tak kunjung membaik, suhunya semakin naik sampai 39.8 derajat Celcius. Kondisi saat itu, Ikyu terlihat lemas dan tidak nafsu makan, tetapi masih mau minum. Demamnya pun tidak disertai batuk, pilek, atau diare.

dr. Apin dalam bukunya ini menjelaskan kalau keadaan demam > 39 dercel, tanpa gejala penyerta yang jelas, dialami oleh balita berusia 3-36, dan kondisi anak yang lemah, maka kondisi tsb dinamakan Fever Without Source (FWS). Kondisi ini mengaruskan agar anak segera dibawa ke dokter.

Saat diperiksa oleh dokter di klinik dekat rumah, alhmdulillah Ikyu hanya cukup perlu diberi parasetamol untuk meredakan demam karena sudah mencapai 40.8 derajat Celcius. Dokter menyarankan agar terus mengobservasi kondisi Ikyu selama beberapa hari ke depan. Dokter juga menjelaskan bahwa kemungkinan Ikyu terinfeksi virus dilihat dari kondisinya. Kondisi ini berupa ruam merah yang baru terlihat saat dokter memeriksa dengan lebih teliti.

Saat dokter bilang bahwa kemungkinan itu adalah penyakit Tampek/Tampak, saya sedikit terkejut karena salah fokus “Hah, Campak?!”, padahal ternyata Tampak (Roseola) dan Campak itu berbeza hehe. Nah, perbedaan dan penangannya bisa dilihat di kolom ini (Sumber: Berteman dengan demam, dr. Arifianto, Sp.A).

 

IMG_5848

IMG_5916

Dokter bilang kalau pada penyakit Tampak ini ruam merah akan semakin banyak saat demam sudah reda, namun akan sembuh dengan sendirinya. Jadi tak perlu obat apalagi antibiotik. Tetapi jika selama masa observasi selama tiga hari demam tak kunjung mereda dan kondisi memburuk, maka disarankan untuk membawa ke laboratorium untuk cek darah.
Alhmdulillah selama masa observasi, Ikyu semakin membaik dan tidak ada gejala Campak atau sakit lainnya. Memang ruam merahnya jadi lebih banyak saat hari keempat, namun surut lagi dua hari setelahnya. Setelah seminggu istirahat, merutinkan minum vitamin, dan makan makanan bergizi, Ikyu bisa aktif main lagi setelah sebelumnya lemah tak berdaya 😀

Menikmati Masa Adaptasi

Tak terasa telah dua tahun berlalu semenjak postingan terakhir blog ini di tahun 2017 wkwkwk eh. Dan akhirnya saya mengingat-ingat kembali yang telah terjadi dalam kurun dua tahun terakhir yang penuh drama, galau, dan adaptasi. Here we gooo…

1. Tahun terakhir perkuliahan studi doktoral. Yang mana di tahun itu perlu tenaga ekstra dan fokus penuh pada studi yang ingin diselesaikan. Sebagai procrastinator sejati yang selalu punya motto, tar-sok-tar-sok… Selalu ada hari esok untuk mengerjakan tugas, ide ada dalam detik terakhir… Saya harus digeber biar gak menunda-nunda paling enggak setahun terakhir ini. hehe.

IMG_E1622
Bersama Sensei paling baik hati

2. Kelulusan. Alhmdulillah bisa menyelesaikan studi dengan syarat paling minimal kelulusan yakni terpublikasinya satu paper di jurnal internasional hahaha. Akhirnya setelah 2 tahun paper itu mengawang-ngawang di tangan reviewer akhirnya publish juga hiks.

 

3. Back for Good. Yang artinya kembali ke tanah air sesudah menyelesaikan studi. Ini adalah momen paling baper dalam hidup saya saat ini. Yang ternyata gak cuma saya yang merasakan. Bahkan ada yang butuh setahun untuk mnyembuhkan baper akan kehidupan waktu di Jepangnya. Gimana bapernya? Ya gitu deehhh XD.

IMG_1391
Baper ga bisa makan sushi murah lagi

 

IMG_E1563
Nangis waktu pamitan sama sensei ikyu yang baik hati
WVJM2520
Perpisahan di rumah sensei, malu klo nangis XD
IMG_E1693
Katanya disini ga boleh nangis, tapi ttp berkaca-kaca waktu perpisahan sama ciwi-ciwi tsukuba
42799935_10217549546319184_114502084354637824_n
Depan asrama sebelum berangakt, masih acak-acakan, trus sisa-nya diberesin sama tetangga-tetangga baik hati ini… Nangis dong ya huhu

Nangis waktu dianter naik bus ke bandara. Di bis pun saya sama suami kebanyakan diem, sibuk menahan perasaan masing2 wkwk.

4. Hamil anak kedua. Jeng jreeeng, bener ya kata orang-orang kalau sekolah itu adalah KB alami wkw. Karena setelah kelahiran anak pertama saya tidak berencana KB, jadi selama sekolah saya sempet deg-degan kalau dikasih adik buat Ikyu. Kebayang akan makin rempong hidup kalau sebelum lulus udah hamil lagi. Awal hamil kaget juga, sempet galau karena masih dalam masa transisi baru balik rantau, ditolak lamaran kerjaan, dan belum ada perkerjaan tetap. Tapi syukur alhmdulillah masih cukup tabungan, dan pas dikasih hamil, pas sudah pulang ke Indonesia. Beberapa kemudahan bisa didapatkan, selain karena belum ada kegiatan rutin di luar rumah, banyak bala bantuan dari kakek-nenek-mbahnya, juga karena dekat dengan makanan Indonesia hehehe. Alhmdulillah.

IMG_3961
USG usia 7 minggu, Januari 2019

Ibu Sebagai Agen Perubahan #NHW 9

Perempuan khususnya seorang ibu adalah instrumen utama yang sangat berperan sebagai agen perubahan. Dari sisi individu untuk menjadi agen perubahan adalah hak semua orang tidak berbatas gender. Karena semua memiliki potensi dasar yang sama berupa akal, naluri dan kebutuhan fisik. Sedangkan dalam konteks masyarakat, keberadaan ibu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan keluarga, dimana keduanya memiliki porsi prioritas yang sama (Matrikulasi IIP pekan ke 9).

Akhirnya sampai juga pada materi terakhir pada program matrikulasi IIP batch 8 ini. Banyak hal yang menjadi pembelajaran bagi saya pribadi, karena ternyata hal-hal yang menjadi sumber galau saya, saya temukan jawabannya pada setiap materi per pekannya.

Bahwa, sesungguhnya membangun peradaban bersumber dari diri sendiri, pasangan, keluarga, dan akhirnya masyarakat. Saya pun setuju pada akhirnya kita harus tetap ikut perpartisipas dalam perubahan masyarakat dengan ditopang oleh kemandirian finansial yang ditawarkan melalui proses pembentukan social venture atau enterprise. Sehingga untuk melakukan perubahan tidak perlu menunggu dana dari luar, tapi cukup tekad kuat dari dalam.

Social venture adalah suatu usaha yang didirikan oleh seorang social enterpreneur baik secara individu maupun organisasi yang bertujuan untuk memberikan solusi sistemik untuk mencapai tujuan sosial yang berkelanjutan. Sedangkan social enterpreneur adalah orang yg menyelesaikan isu sosial di sekitarnya menggunakan kemampuan enterpreneur.

Saat kita telah menemukan passion (ketertarikan minat) ada di ranah mana, mulailah lihat isu sosial di sekitar kita, maka belajar untuk membuat solusi terbaik di keluarga dan masyarakat.

Rumus yang kita pakai :

PASSION + EMPHATY = SOCIAL VENTURE

IMG_5595.PNG

Sehingga kita bisa membuat perubahan di masyarakat diawali dari rasa empati, dan membuat sebuah usaha yang berkelanjutan diawali dari proses menemukan passion. Sehingga, mampu menjadi orang yang merdeka menentukan nasib hidupnya sendiri.

Tentu saja semuanya diawali dengan ketahanan keluarga yang kuat, saat kita sudah selesai dengan ranah domestik, serta membangun keluarga yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Kemudian kita bisa menyelesaikan permasalahan sosial di sekitar kita dengan kemampuan enterpreneur yang kita miliki. Bismillah

Misi SpesifiK Hidup dan Produktifitas #NHW 8

Dulu saat masih menjadi aktipis mahasiswa tentu kita banyak berkutat dengan perancangan visi dan misi organisasi. Apalagi kalau pernah ikut seminar tentang merancang masa depan, rajin deh bikin visi misi untuk diri sendiri. Namun, wahai wanita-wanita di segala penjuru Indonesia, hal inilah yang suka terlupa saat ini, apalagi sudah bersuami dan beranak, huhu, saya sih iyes, ga tau deh mas anang.

Pada materi ke 8 matrikulasi, dijelaskan, dalam merancang misi hidup dan produktivitas ada tiga elemen yang harus diperhatikan.

a. Kita ingin menjadi apa (be)

b. Kita ingin melakukan apa (do)

c. kita ingin memiliki apa (have)

Dari aspek dimensi waktu ada 3 periode yang perlu kita perhatikan :

a. Apa yang ingin kita capai dalam kurun waktu kehidupan kita (lifetime purpose)

b.Apa yang ingin kita capai dalam kurun waktu 5-10 tahunke depan (strategic plan)

c. Apa yang ingin kita capai dalam kurun waktu satu tahun (new year resolution)

Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut ternyata tidaklah mudah. Mungkin karena sudah terbiasa hidup mengalir sampi jauh dan terbiasa dengan manajemen waktu yang salah. Oleh karenanya, saya harus menemukan jawaban sebelum semua terlambat *oke ini lebay sih*.

Pertama adalah menentukan aktifitas yang disukai. Aktivitas yang disukai adalah terus mempelajari tentang pertanian dan literasi sampai mamu membagi ilmu kepada masyarakat.

Kedua menentukan tiga elemen dalam penentuan misi hidup dan produktivitas.
1. Kita ingin menjadi apa ? (BE)
Say ingin menjadi pendidik, sekaligus penggerak masyarakat yang berkaitan dengan pertanian dan literasi terlebih yang berhubungan dengan dunia anak-anak.

2. Kita ingin melakukan apa ? (DO)
Saya ingin melakukan proses pembelajaran yang dimulai dari diri sendiri, keluarga sampi kepada masyarakat.

3. Kita ingin memiliki apa? (HAVE)
Ingin memiliki social enterprise yang berhubungan dengan pertanian, memiliki rumah baca dan perpustakaan umum.

Ketiga, memperhatikan 3 aspek dimensi waktu di bawah ini:
1. Apa yang ingin kita capai dalam kurun waktu kehidupan kita (lifetime purpose)
– Meningkatkan ketahanan keluarga dengan mengaplikasikan manajemen kerumahtanggan yang baik.
– Menjadikan anak menemukan fitrah tumbuh kembangnya, serta tumbuh menjadi anak yang sholeh, sehat, aktif, dan cerdas.
– Memiliki social enterprise yang berhubungan dengan pertanian, memiliki rumah baca dan perpustakaan umum.

2.Apa yang ingin kita capai dalam kurun waktu 5-10 tahun ke depan (strategic plan)
– Lulus Doktoral
– Meluaskan networking untuk membangun social enterprise dan rumah buku.

3. Apa yang ingin kita capai dalam kurun waktu satu tahun (new year resolution)
– Membuat kurikulum untuk anak yang sudah memasuki usia satu tahun
– Mempublikasi hasil riset
– Merancang social enterprise dan rumah buku

Setelah mendapatkan jawaban-jawaban dari pertanyaan di atas, maka mulailah berkomitmen untuk “BERUBAH” dari kebiasaan-kebiasaan yang kita pikir memang harus diubah.

Tahapan Menjadi Bunda Produktif #NHW 7

Untuk menjadi ibu profesional, Bu Septi Peni membagi tahapan menjadi Bunda Sayang, Bunda Cekatan, dan Bunda Produktif.

Pada sesi materi di pertemuan ke 7 ini, Bunda Produktif di Ibu Profesional tidak selalu dinilai dengan apa yang tertulis dalam angka dan rupiah, melainkan apa yang bisa dinikmati dan dirasakan sebagai sebuah kepuasan hidup, sebuah pengakuan bahwa dirinya bisa menjadi Ibu yang bermanfaat bagi banyak orang.

Berkaitan dengan rezeki adalah ketetapan dari Allah, dan ikhtiar kita adalah bagian dari ibadah. Maka, sebagai ibu kita bisa berikhtiar menjemput rejeki, tanpa harus meninggalkan amanah utamanya yaitu anak dan keluarga.

Dalam sesi diskusi, saya pernah melayangkan pertanyaan, karena bagi seseorang yang memiliki kecenderungan untuk bekerja di ranah publik saya menjadi tertarik bagaimana caranya untuk menyeimbangkan porsi publik dan domestik.

Dan sekali lagi, jawabannya adalah ada pada manajemen waktu, dan menyelesaikan seluruh hak keluarga serta urusan domestik. Sehingga ikhtiar perlu dilipat gandakan menjadi berkali-kali, tentu dengan mengurasi porsi mengeluh, walau kini masih tertahan dalam hati, dan dikeluarkan dalam bentuk cemberut wkwk.

Salah satu tahapan untuk menjadi Ibu Produktif adalah dengan semangat untuk mengenalk bakat diri. Salah satunya melalui tools talents mapping yang dibuat oleh Abah Rama di temubakat.com. Teman-teman juga bisa untuk mengecek kecenderungan bakat disana.

Setelah menjawab pertanyaan, jeng jreeng, berikut ini penjelasan bakat seorang riska..

IMG_5550.PNG

Setelah itu, sebagai catatan kita perlu membuat kuadran aktifitas yang berkaitan dengan aktifitas yang disuka/tidak, dan aktifitas yang bisa/tidak. Kuadran ini diambil dari konsep Gino Wickman dan Rene Boer pada buku karya mereka “How to be a Great Bos”.

IMG_5551

Setelah melakukan tes bakat dan merincinya dalam kuadran, saya melalukan konfirmasi kepada suami. Yakk.. Beliau pun menyetujuinya, memaklumi, namun tetap menyemangati agar tetap bisa memperbaiki diri pada hal-hal yang masing kurang apalagi bagian administrasi, planning, dan manajerial. Hmm, Ayo semangat ibuk riska!

 

Menjadi Manajer Rumah Tangga #NHW 6

“Sejatinya semua ibu itu bekerja. Baik di ranah domestik atau biasa kita sebut pekerjaan rumah tangga atau di ranah publik yang mencakup pekerjaan di luar rumah. Dan kedua ranah itu adalah pekerjaan mulia yang memerlukan profesionalitas dalam pengelolaanya.”

Sekelumit intisari dari materi pada pekan ke-6 kelas matrikulasi IIP.  Semakin menyadari bahwa, saya dibesarkan oleh generasi yang sangat ingin menjadikan anaknya bisa berkiprah di ranah publik. Tidak salah memang, namun kadang ada hal yang sedikit terlewat kiranya. Saya jarang sekali dibebankan permasalahan domestik oleh orang tua saya, karena menurut mereka kita harus fokus dalam menuntut ilmu agar masa depan semakin gemilang.

Saya memang merasa sangat berterimakasih kepada orangtua, yang telah membesarkan sedemikan rupa, sehingga tanpa tuntutan mereka, saya menjadi ingin mengeyam pendidikan sampe jenjang yang membuat saya selayaknya, semakin merenungi kembali tujuan saya menuntut ilmu serta mengaplikasikan ilmu tersebut.

Kemudian, fase berumahtangga pun datang. Saya tahu betul, banyak hal-hal yang perlu dipelajari sebelumnya. Pengalaman perantauan pun kita jadikan dasar pijakan. Namun ternyata itu tidak juga cukup sebagai persiapan, karena mungkin saya tidak akan pernah siap tanpa benar-benar langsung menyelam kedalam lautan perumahtanggan.

Saya pun mencoba beradaptasi dengan ritme kehidupan berumah tangga apalagi setelah adanya anak, yang mewajibkan saya mampu mengatur semuanya.

Beberapa kejadian yang membuat saya akhirnya merenung tentang peran saya sebagai manajer rumah tangga. Dan akhirnya terjawab setelah memahami materi tentang “Menjadi Manajer Handal” dipekan ke 6 ini.

Saya tersadar bahwa, baik ranah domestik atau publik, sejatinya selalu didasari oleh motivasi mengapa kita melakukan ini? Karena tuntutan, kompetisi, atau panggilan hati?

Bekerja hanya karena tuntutan dan kompetisi menjadikan kita tidak sepenuh hati untuk mengerjakannya. Namun jika didasari panggilan hati, maka kita akan bekerja dengan ikhlas dan tanpa banyak mengeluh.

Sehingga agar tidak jenuh dan terjebak pada rutinitas, untuk menjadi manajer handal, perlu kita pahami, mengenai makna dari aktivitas kita. Misalkan,  3 aktivitas yang paling penting, dan 3 aktivitas yang paling tidak penting saya diantaranya;

Yang penting; Mengurus rumah tangga (bersih-bersih, mengatur keuangan, memasak), Membersamai dan mendidik anak, serta Melakukan riset doctoral.

Yang tidak penting; Terjebak dalam media sosial, terlalu banyak ngobrol, dan melamun T__T ga jelas banget kan huhu.

Untuk itu, saya harus berazam dalam hati agar waktu-waktu yang penting tidak terrenggut oleh waktu-waktu untuk aktifitas tidak penting. Apalagi saat ini, yang ternyata waktu banyak habis di kampus, sehingga seharusnya saat pulang ke rumah adalah fokus kepada pekerjaan rumah tangga. Namun, ternyata masih kurang dari yang diharapkan, masih suka fokus ke hape atau pekerjaan kampus yg belum selesai. Semoga, setelah ini, saya mampu untuk semakin memaksimalkan peran menjadi manajer handal rumah tangga.

Learning How to Learn #NHW5

Pembelajaran yang efektif sangat diperlukan bagi siapapun yang ingin belajar, mendalami suatu ilmu, bahkan mempelajari hal yang baru.

Saat masih menjadi siswa dulu, mungkin kita tidak sadar bahwa kita dipandu untuk belajar sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan. Tentu saja, kurikulum bukan hal yang mudah untuk dibuat dan diikuti. Terbukti ada beberapa siswa yang ternyata tidak cocok dengan kurikulum yang ada, sehingga mungkin nilainya dibawah rata-rata. Belakangan ini, kita baru mengetahui bahwa cara manusia belajar berbeda-beda, sesuai dengan kecerdasannya, seperti visual, audio, kinestetis, dan sebagaianya…

Maka, saat ini kurikulum pun berubah-ubah sesuai dengan menteri yang menjabat di kemendikbud #eh. Apalagi baru-baru ini ada wacana untuk menambah jam belajar menjadi 8 jam perhari, dengan menerapkan pendidikan karakter yang didala waktu 8 jam itu ada kegiatan esktrakulikulernya. Hmm…

Padahal di Finlandia, yang mana negara maju dengan pendidikan paling bagus di dunia hanya menerapkan 4 jam sekolah yang berdasar irama sirkandian atau bioritmis anak-anak. Apalagi itu? Ya yuk mari kita gugling

Ditengah ketidakpastiannya kurikulum di Indonesia apakah kita lantas menyerah? Dan lebih memilih mendidik anak kita di rumah atau metode homeschooling? Mungkin itu menjadi salah satu alternatif pilihan. Karena membahas sekolah formal atau homeschooling sesungguhnya menjadi salah satu perdebatan sendiri dikalangan mamak2, disamping tema-tema lain hihi. Tapi semoga kita ga perlu ikut berdebat karena keduanya punya kekurangan dan kelebihan masing-masing, sehingga pilihan tergantung kondisi kesiapan ilmu yg kita miliki.

Pengaplikasian kurikulum itu sendiri dimulai dari kita sebagai seorang pendidik, minimal anak kita sendiri. Mau tidak mau kitalah yang pertama kali dipacu untuk “belajar”.

Membahas tentang penyusunan kurikulum, sebelumnya tentu kita harus memahami pentingnya belajar itu sendiri. Kenap harus terus belajar bahkan sampi ujung kehidupan kita nanti. Lalu, dimulai dari mana ya kira-kira? Dari hasil merenung, lintasan pikiran, dan berbagai bacaan saya pun merangkumnya sebagai berikut.

1. Memahami hakikat belajar.

Sebagai seorang manusia, kita perlu belajar agar kita mampu mengemban amanah menjadi manusia, berat ya 😅 Tapi tanpa belajar tentu kita akan banyak menemukan kesulitan kan? Belajar membuat kita lebih mudah menjalani kehidupan. Selain itu, belajar juga menjadikan kita orang yang lebih baik dari sebelumnya, mampu beradaptasi denvan lingkungan, menjadikan diri semakin bijak menghadapi kesulita atau kehagalan juga membuat diri bermanfaat untuk orang lain.

IMG_5238
sumber: muslimnote.com
IMG_5239
sumber: koleksi pribadi

2. Mengedepankan adab belajar, terkhusus adab kita terhadap ilmu dan adab terhadap guru.

Adab menjadikan ilmu yang kita pelajari menjadi berkah atau bermanfaat dalam kondisi apapun, mudah atau sulit. Sehingga adab kepada ilmu dan guru sangatlah penting. Misalnya, mencari ilmu dengan cara yang jujur, tidak dengan kecurangan. Menghormati guru yang memberi ilmu. Juga tidak merasa benar sendiri dari orang yang memberi ilmu.

3. Menelusuri sumber belajar yang terpercaya.

Tantangan kita di zaman yang penuh dengan informasi ini adalah memilah mana informasi yang benar dan tidak. Salah satu hal yang perlu dihindari adalah memilih ilmu dan informasi sesuai dengan yang diinginkan sehingga menutup diri dari informasi yang sesungguhnya itulah kebenarannya.

IMG_5241

4. Menemukan metode belajar yang cocok.

Kita atau anak kita dibekali keunikan tersendiri yakni karakter atau fitrah diri. Sehingga kita mencoba untuk menemukan ‘gaya’ yang pas untuk belajar.

IMG_5240

5. Mengatur rincian jadwal dan kurikulum agar tercapai target 10.000 jam terbang.

Jadwal dan kurikulum nantinya akan berkaitan dengan seberapa lama kita mampu fokus, meningkatkan memori, membagi materi, melakukan evaluasi, dan mengaplikasikan pelajaran.

Semoga dengan semangat belajar, minimal dalam belajar memilah informasi, kita mampu mencari informasi yang valid, mengedepankan adab mencari dan menerima informasi, sehingga meninimalisir terjangkitnya kita dari virus close mind, menutup diri merasa paling benar, share berita hoax, dan berdebat kusir di kehidupan maya juga nyata 😉